Friday, January 30, 2009

Nawangsih bersama Keluarga Kudus Nazaret

Nawangsih bersama Keluarga Kudus Nazareth
Oleh: Setiyadi


Keluarga adalah tempat persemaian cinta kasih Allah. Di sanalah, seharusnya taburan benih cinta mendapat ruang pertumbuhan paling nyaman di dunia. Namun, mudahkah menyemai, menumbuhkan dan merawat cinta manusiawi melalui persekutuan cinta dalam sebuah keluarga? Mencuatnya fakta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) melalui media massa dibarengi berita seputar perceraian para selebriti, tentu cuikup memberi gambaran untuk menjawab pertanyaan di atas. Belum lagi, kasus-kasus pastoral yang mesti dijumpai para pamomong dan pendamping umat, baik pastor atau pendeta kala menggembalakan kehidupan berkeluarga para kawanan domba Allah di dunia ini. Memang, tidak mudah hidup dalam cinta. Meski begitu, tidak mungkin orang meninggalkan cinta. Berada dalam situasi paradoksal cinta, lalu mesti bagaimana? Tulisan atau lebih tepat permenungan ini hendak mengajak kita semua untuk menekuni laku nawangsih, memandang dan menyaring rahmat cinta Allah melalui kehidupan Keluarga Kudus Nazareth: Yusuf, Maria dan Yesus. Dengan cara ini diharapkan akan menemukan sumber spiritualitas untuk terus menghidupi sang cinta di tengah hidup berkeluarga.

Nawangsih dalam kontemplasi Keluarga Kudus
Batin Maria adalah ruangan doa hening yang indah. Dalam ruangan doa hening itu, dapat dipastikan betapa senandung doa hati selalu dinaikkan bagi kerja suami tercinta dan bagi karya agung Sang Putra terkasih nantinya. Senandung doa hati Sang Bunda adalah buah-buah hidup kontemplasi dalam cinta yang dihidupinya. Melalui kehidupan doa batin, Maria terus memandang dan menyaring rahmat Allah yang menghinggapi orang-orang yang dicintanya.
Sementara itu, Yusuf sang ayah dengan pekerjaannya sebagai tukang kayu, ingin menunjukkan hidup kontemplasi dalam aksi. Dalam kerja, ia tidak banyak bicara. Dalam karya, Yusuf mampu memandang dan menyaring rahmat Allah yang bersembunyi di balik perhatian dan cinta istri serta Putera terkasihnya. Bagaimana kanak-kanak Yesus turut serta memakai peralatan tukangnya, turut berkreasi bersamanya, tentu menjelmakan senyum bangga, pada Putera Allah yang dipercayakan berada dalam pengasuhannya.
Dalam keluarga yang dipenuhi daya hidup kontemplatif itu, tidak mengherankan bila akhirnya Yesus pun menangkap perutusannya menjadi seorang kontemplatif, baik dalam cinta maupun dalam karya-Nya. Ia dihidupi oleh cinta ibu dan bapa manusiawi-Nya. Hati-Nya bertemu dengan cinta manusiawi yang hidup ditengah-tengah keluarga sederhana Nazareth. Semakin mengertilah Ia, betapa hidup mencinta merupakan panggilan hidup-Nya, sekalipun hidup mencintai harus berani menderita.

Menghayati spiritualitas cinta Ilahi dalam Keluarga Kudus Nazareth
Spiritualitas hidup yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga kudus Nazareth adalah cinta. Cinta Allah hadir dalam diri Yesus. Keluarga Kudus Nazareth mendapat kesempatan istimewa untuk bergaul dalam relasi manusiawi dengan Sang Cinta Ilahi. Begitu pula sebaliknya, Sang Cinta Ilahi mengalami perjumpaan dan relasi manusiawi melalui dekapan keibuan Maria, dan perhatian seorang bapa, Yusuf.
Yesus, Sang Cinta Allah, dalam kehidupan keluarga kudus menjadi pusat hidup berkeluarga. Tentu banyak perenungan-perenungan yang dicatat Maria dalam hatinya, bagaimana semangat cinta yang terus mengalir dari diri Sang Putra tercinta. Bagaimana keluarga kudus itu menghidupi Sang Cinta Allah?
Pengalaman penting pertama adalah penerimaan terbesar Maria terhadap tawaran Cinta Allah yang ingin tinggal dalam rahimnya. Fiat dalam kepasrahan cinta ini merupakan pintu paling penting bagi kehadiran Allah di tengah Keluarga Kudus. Namun, konsekuensi terhadap penerimaan Cinta Allah bukannya tanpa risiko. Maria hampir saja ditinggalkan Yusuf. Ini tentu situasi yang tidak mudah untuk dilewati baik oleh Yusuf maupun Maria. Sekalipun konsekuensi terhadap jawaban penuh pasrah cinta dari Maria menghadirkan jalan terjal di depannya, Maria tetap menghidupi cintanya pada Tuhannya. Keteguhan iman Maria inilah yang menghadirkan penyelenggaraan Ilahi yang ajaib seperti dialami oleh Yusuf. Rasul Matius mencatat ini
"Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus." (Matius 1:20).

Untuk menghidupi Cinta Allah di tengah keluarga memerlukan pemberian yang total. Sekalipun suatu pedang akan menembus jiwanya (Lukas 2:35), tidak membuat urung bagi keluarga Nazareth untuk merawat dan mengasihi Putra Allah.
Nyatalah, hidup mencinta harus berani menderita. Itulah yang dialami Keluarga Nazareth. Penderitaan bukan menjauhkan diri dari Allah, justru semakin mendekatkannya. Tersamar, ini tampak kala Maria terus mengiringi jalan penderitaan Puteranya. Maria merangkul penderitaan itu, hingga membawanya begitu dekat dengan Kristus, sedekat tatkala memangku jenasah Sang Putera terkasih.
Bagi keluarga-keluarga masa kini, tentu teladan Keluarga Kudus yang tetap erat dalam persekutuan dengan Kristus akan memberikan topangan istimewa. Sekalipun tantangan hidup keluarga masa kini tidak bisa dikatakan ringan, dengan memandang teladan Keluarga Kudus dalam iman dan kasih akan memberikan kekuatan di tengah penderitaan dunia ini.
Lagi pula, Kristus yang mengalami kehangatan cinta keluarga sederhana, tentu akan sangat mengerti pada orang-orang yang berharap kepadaNya dalam membangun hidup berkeluarga.

Membangun Spiritualitas Hidup Berkeluarga Berkiblat Keluarga Kudus Nazareth
Membangun hidup berkeluarga yang dipenuhi spiritualitas hidup penuh cinta tentu menjadi panggilan hidup bergereja. Bersama-sama Sinode Wilayah Gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah (SW GKI Jateng), Gereja Kristen Jawa (GKJ) menetapkan bulan Oktober sebagai bulan keluarga. Bahan-bahan sharing iman dan pendalaman Kitab Suci diterbitkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pengaderan Sinode GKJ dan GKI Jateng, Yogyakarta, dalam upaya menemani pergumulan keluarga-keluarga anggota jemaat GKJ dan GKI Sinode Wilayah Jawa Tengah.
Pengalaman keluarga akan cinta kasih yang berasal dari Allah merupakan ruang untuk mengembangkan spiritualitas keluarga, yaitu pilihan hidup untuk memenuhi panggilan kepada kekudusan hidup, menurut pola keluarga kudus Nazareth. Kehadiran Yesus di tengah keluarga kudus Nazareth telah memberi arti yang sangat mendalam bagi Maria dan Yusuf. Sang Imanuel itu menjadi pusat hidup keluarga serba sederhana itu. Mengingat betapa pentingnya Kristus sebagai pusat hidup keluarga, selama bulan keluarga ada doa khusus yang dibaktikan kepada keluarga kudus Nazareth. Menurut hemat penulis, pancaran spiritualitas Keluarga Kudus pantas ditempatkan sebagai pangkal rahmat kehidupan keluarga-keluarga dalam lingkungan Gereja Kristen Jawa. Bagaimana supaya keluarga-keluarga terhisap dalam spiritualitas keluarga kudus? Alangkah baiknya, apabila hidup devosional mendapat lirikan demi pengembangan spiritualitas hidup berkeluarga yang berkiblat pada Keluarga Kudus Nazareth.

No comments:

Post a Comment